Jumat, 14 Agustus 2009

MENGENAL PRINSIP-PRINSIP DALAM TRANSAKSI SYARI'AH

Dewasa ini skema transaksi usaha dengan menggunakan sistem ekonomi Islam atau yang lebih dikenal dengan transaksi syari'ah semakin berkembang pesat. Disamping sudah terbukti lebih memberikan keadilan, tahan terhadap krisis dimana saat bank-bank konvensional rontok saat krismon, bank-bank syari'ah justru sehat-sehat semua, serta semakin berkembangnya lembaga keuangan penunjang transaksi syari'ah mulai dari bank syrai'ah maupun lembaga keuangan syari'ah non-bank seperti BMT mauapun pasar modal syari'ah.

Berikut ini pengertian singkat tentang skema-skema atau terminologi yang biasa digunakan dalam transaksi yang menggunakan sistem syari'ah :


Wadi’ah, adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, kemanan, serta keutuhan barang/uang .

Wadiah Yad Amanah, adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.

Mudharabah,adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibulmal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atas keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad.

Murabahah, adalah akad jual beli antara bank dengan nasabah. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambahn dengan keuntungan yang disepakati.

Isthisna, adalah akad jual beli barang (Mashnu) antara pemesan (Mustashni) dengan penerima pesanan (Shani). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal akad dengan pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan.

Ijarah, adalah akad sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir).

Salam, adalah akad jual beli barang pesanan (Musalam fiih) antara pembeli (Muslam) dengan penjual (Musalamilaih). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati diawal akad dan pembayaran dilakukan dimuka secara penuh. Apabila bank bertindak sebagai Muslam kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang (Muslam fiih) maka hal tersebut Salam Paralel.

Rahn, adalah akad penyerahan barang/harta (Marhun) dari nasabah (Rahin) kepada Bank (Murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang.

Qardh, adalah akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada Muqtaridh. Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran ataupun sekaligus.

Qardhul Hasan, adalah akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) untuk tujuan sosial yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman.

Jumat, 09 Januari 2009

MENGENAL LEGAL DUE DILIGENCE


PENDAHULUAN

Legal Due Diliegence atau Uji Tuntas Dari Segi Hukum merupakan pemeriksaan atau audit menyeluruh terhadap suatu badan hukum dilihat dari sisi legalitas badan hukum tersebut. Dalam keseharian, kita lebih mengenal audit dari segi keuangan yang biasa dilakukan oleh akuntan untuk membuat laporan keuangan pada akhir tahun buku suatu badan hukum.

Menurut Standar Profesi Konsultan Hukum Pasar Modal yang dikeluarkan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal tertanggal 18 Februari 2005, Uji Tuntas Dari Segi Hukum (Legal Due Diligence) untuk selanjutnya disebut Uji Tuntas adalah kegiatan pemeriksaan secara seksama dari segi hukum yang dilakukan oleh Konsultan Hukum terhadap suatu perusahaan atau obyek transaksi sesuai dengan tujuan transaksi, untuk memperoleh informasi atau fakta material yang dapat menggambarkan kondisi suatu perusahaan atau obyek transaksi.

Dalam kenyataannya Uji Tuntas tidak hanya berguna untuk kegiatan transaksi di Pasar Modal saja, akan tetapi juga untuk transaksi di luar pasar modal, seperti akuisisi suatu perusahaan oleh investor, pemberian kredit oleh kreditur maupun bagi internal perusahaan sendiri.


MANFAAT UJI TUNTAS

Secara singkat, manfaat uji tuntas adalah :

1. secara umum adalah untuk mengetahui riwayat perusahaan dari segi hukum atas perusahaan dari mulai pendirian sampai dengan kondisi terakhir perusahaan tersebut, terutama dari segi riwayat permodalan, riwayat pemegang saham, izin-izin yang dimiliki, aset-aset yang dimiliki perusahaan, hutang-hutang perusahaan beserta pembatasan-pembatasan yang dikenakan kepada perusahaan karena adanya hutang, aset yang dijaminkan amuapun perkara yang sedang dihadapai oleh perusahaan.

2. Bagi investor adalah untuk mengetahui riwayat perusahaan dari segi hukum atas perusahaan target dari mulai pendirian sampai dengan kondisi terakhir perusahaan target tersebut.

3. Bagi kreditur adalah untuk mengetahui kondisi legalitas perusahaan yang akan menjadi debiturnya, termasuk aset-aset yang dimiliki baik yang berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, dan aset yang telah dijaminkan kepada kreditur lainnya, kondisi perjanjian hutang dengan kreditur lainnya.

4. Bagi internal perusahaan adalah sebagai kontrol atas jangka waktu izin-izin yang dimiliki oleh perusahaan, jangka waktu sertifikat kepemilikan aset seperti sertifikat tanah atau asuransi, tindakan-tinbdakan yang harus mendapat izin kreditur jika perusahaan mempunyai perjanjian kredit serta koreksi atas hal-hal yang masih harus dilengkapi oleh perusahaan.

5. Bagi Konsultan hukum adalah sebagai dasar untuk membuat legal opini atas perusahaan yang di uji tuntas tersebut, sesuai dengan tujuan dan keperluan dibuatnya uji tuntas.

6. Bagi masyarakat umum, adalah sebagai bahan informasi tentang perusahaan (tentunya perusahaan publik saja) dan bahan pertimbangan untuk membeli saham atau produk lainnya jika ingin berinvestasi di pasar modal.


MATERI UJI TUNTAS

Sesuai dengan Standar yang dikeluarkan oleh HKHPM, secara umum materi Uji Tuntas secara menyeluruh adalah sebagai berikut:

a. Anggaran dasar Perusahaan
a.1. Pemeriksaan terhadap anggaran dasar meliputi antara lain:
i. akta pendirian Perusahaan;
ii. seluruh perubahan anggaran dasar.

a.2. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai anggaran dasar adalah:
iii. kegiatan usaha Perusahaan;
iv. ketentuan mengenai pengangkatan direksi dan komisaris; dan
v. pengaturan dan tata cara mengenai pelaksanaan rapat-rapat umum baik RUPS Tahunan maupun RUPS Luar Biasa dan apakah putusan RUPS telah diambil sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar.

b. Notulen rapat
b.1. Pemeriksaan terhadap notulen rapat meliputi antara lain:
i. notulen Rapat Direksi;
ii. notulen Rapat Komisaris; dan
iii. notulen Rapat Umum Pemegang Saham.

b.2. Notulen rapat sebagaimana tersebut pada huruf b.1. adalah notulen rapat yang diselenggarakan dalam lima tahun terakhir, dengan memperhatikan jangka waktu penyimpanan dokumen oleh Perusahaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b.3. Khusus untuk notulen rapat yang berhubungan dengan perubahan ketentuan anggaran dasar dan pengalihan saham, diperlukan pemeriksaan sejak pendirian Perusahaan.


c. Saham dan permodalan
c.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai saham adalah:
i. jenis saham yang telah dikeluarkan oleh Perusahaan dan hak-hak yang melekat pada masing-masing jenis saham tersebut.
ii. sejarah kepemilikan saham Perusahaan sejak didirikan hingga dibuatnya Laporan Uji Tuntas, serta apakah perubahan tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.2. Hal yang perlu diperiksa mengenai permodalan adalah:
iii. sejarah permodalan Perusahaan sejak didirikan hingga dibuatnya Laporan Uji Tuntas,
iv. apabila terdapat perubahan dalam permodalan, apakah perubahan tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam anggaran dasar Perusahaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.3. Pemeriksaan atas saham dan permodalan dapat dilakukan dengan melihat Buku Daftar Saham dan Buku Daftar Khusus dari Perusahaan.


d. Direksi dan dewan komisaris
d.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai direksi dan dewan komisaris:
i. susunan direksi dan dewan komisaris yang sedang menjabat;
ii. identitas diri.

d.2. Konsultan Hukum wajib memperoleh surat pernyataan masing-masing anggota direksi dan dewan komisaris Perusahaan mengenai apakah masing-masing dari mereka terlibat atau tidak dalam perkara pidana, perdata, kepailitan, pajak, perburuhan, arbitrase atau perkara lainnya.

e. Ijin dan persetujuan
e.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai ijin dan persetujuan:
i. jenis;
ii. jangka waktu;
iii. instansi yang menerbitkan;
iv. pemegang ijin;
v. hak, kewajiban, dan larangan;
vi. sanksi; dan
vii. pentaatan.

e.2. Konsultan Hukum wajib melakukan pemeriksaan atas ijin dan persetujuan material yang berhubungan dengan kegiatan usaha, kepemilikan aset tertentu, dan pengelolaan lingkungan dari instansi yang berwenang yang disyaratkan agar Perusahaan dapat melakukan kegiatan usahanya atau memiliki, menguasai, menempati, dan menggunakan aset yang dimiliki. Banyaknya jenis ijin dan persetujuan yang harus dilihat disesuaikan dengan kegiatan usaha Perusahaan.


f. Aset

f.1. Pemeriksaan atas aset meliputi aset bergerak dan tidak bergerak.
f.2 Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai aset:
i. status kepemilikan atau penguasaan atas aset;
ii. sengketa atas aset yang dimiliki atau dikuasai Perusahaan, apabila ada; dan
iii. pembebanan atas aset yang dimiliki atau dikuasai Perusahaan.

g. Asuransi
g.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai asuransi:
i. penanggung;
ii. jenis asuransi;
iii. resiko yang ditanggung;
iv. obyek yang diasuransikan;
v. jumlah pertanggungan;
vi. jangka waktu asuransi; dan
vii. klausula bank, bila ada.

g.2. Konsultan Hukum wajib memperoleh pernyataan dari direksi mengenai apakah seluruh aset material Perusahaan telah diasuransikan dan apakah jumlah pertanggungan adalah memadai untuk mengganti obyek yang diasuransikan atau menutup resiko yang dipertanggungkan.

h. KetenagakerjaanHal-hal yang perlu diperiksa mengenai ketenagakerjaan:
i. bukti pendaftaran tenaga kerja perusahaan;
ii. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau peraturan perusahaan;
iii. penggunaan tenaga kerja asing;
iv. jaminan sosial karyawan dan keikutsertaan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
v. program dana pensiun untuk karyawan;
vi. pemenuhan ketentuan Upah Minimum Regional (UMR); dan
vii. izin-izin khusus di bidang ketenagakerjaan (misalnya untuk mempekerjakan karyawan di malam hari).

i. Perjanjian-perjanjian material yang mengikat Perusahaan, termasuk perjanjian yang mengandung unsur benturan kepentingan dan perjanjian-perjanjian sehubungan dengan transaksi yang akan dilakukan.
Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai perjanjian tersebut adalah:
i. pihak dalam perjanjian;
ii. obyek perjanjian;
iii. nilai perjanjian;
iv. hak dan kewajiban para pihak;
v. pembatasan-pembatasan bagi para pihak sesuai dengan transaksi yang akan dilakukan;
vi. klausula pengakhiran
vii. kalusula cidera janji
viii. pentaatan.


j. Pemeriksaan atas perkara yang melibatkan Perusahaan

j.1. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan atas perkara, sengketa lainnya atau klaim yang mungkin timbul yang melibatkan Perusahaan dan secara material dapat mempengaruhi keadaan keuangan Perusahaan.

j.2. Konsultan Hukum wajib memperoleh surat keterangan dari badan peradilan yang berwenang apakah Perusahaan terlibat perkara di muka pengadilan, pengadilan niaga, arbitrase, pajak atau sengketa lainnya.

j.3. Konsultan Hukum wajib memperoleh surat pernyataan dari direksi apakah Perusahaan terlibat perkara di muka pengadilan, pengadilan niaga, arbitrase, pajak atau sengketa lainnya atau klaim yang mungkin timbul, yang secara material dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Perusahaan.

k. Laporan keuangan dan management letter. Sebagai sumber informasi tambahan, Konsultan Hukum wajib mempelajari laporan keuangan Perusahaan yang telah diaudit beserta management letter yang telah dikeluarkan oleh auditor terkait untuk lima tahun terakhir.

Jumat, 12 Desember 2008

RESTRUKTURISASI HUTANG
Muchammad Alfarisi, SH., M.Hum.

Restrukturisasi hutang merupakan salah satu alternatif untuk menyelesaikan kredit macet yang terjadi. Program Restrukturisasi hutang biasanya diberikan kepada Debitur yang kreditnya macet bukan karena Debitur tersebut nakal atau sengaja tidak mau membayar Hutangnya tersebut. Biasanya ada dua syarat yang dilihat oleh kreditur untuk merestrukturisasi hutang Debitur. Yang pertama Debitur tersebut adalah Debitur Bonafide artinya Debitur tersebut adalah orang yang dikenal dalam dunia usaha dan kredibilitasnya dapat dipercaya. Syarat yang kedua adalah adanya penilaian dari kreditur bahwa Usaha Debitur termasuk usaha yang "Going Concern" atau usaha tersebut masih dianggap berprospek dan menguntungkan untuk tetap dilanjutkan.
Dalam rangka proses restrukturisasi hutang, biasanya Kreditur akan memberikan konsesi atau keringanan kepada Debitur yang diberikan secara bertahap. Adapun bentuk-bentuk konsesi tersebut antara lain :

1. Perubahan isi perjanjian kredit asal. Biasanya perubahan ini dalam bentuk perubahan jenis mata uang yang digunakan. Jika digunakan klausula single curency loan maka biasany dirubah menjadi multi curency loans . Fasilitas ini diberikan untuk memberikan keringanan jumlah yang harus dibayar oleh Debitur kepada Kreditur dalam bentuk mata uang asing lainya yang mempunyai kurs lebih menguntungkan jika di bandingkan dengan nilai mara uang rupiah.
2. Penurunan tingkat suku bunga dalam hal Interest basis atau Bunga pokok. Misalnya dari 10% diturunkan menjadi 7,5%.
3. Penurunan tingkat suku bunga dalam hal Cost basis, yaitu suku bunga yang ada dalam SIBOR atau LIBOR. Contoh : Bunga LIBOR/SIBOR + Margin 2%,. Dalam hal ini margin sebesar 2% di hapus.
4. Klausula Default Interest besarnya dikurangi sebagian.
5. Klausula Default Interest besarnya dikurangi seluruhnya.
6. Bunga yang telah jatuh tempo di hapus sebagian.
7. Bunga yang telah jatuh tempo di hapus seluruhnya
8. Bunga yang belum jatuh tempo di hapus sebagian.
9. Bunga yang belum jatuh tempo di hapus seluruhnya
10. Hutang pokok dihapus sebagian (hair cut).
11. Resechedulling atas grace periode, yaitu Debitur tidak wajib membayar hutang pokok terlebih dahulu.
12. Resechedulling Installment yaitu penjadwalan kembali pembayaran hutang pokok.
13. Refinancing atau pengalihan hutang, dari satu bank ke bank yang lainya.

Restrukturisasi Hutang biasanya dituangkan dalam bentuk perjanjian. Dalam perjanjian restrukturisasi itulah akan diatur pola-pola restrukturisi hutang Debitur, beserta tata cara pembayarannya. Dalam perjanjian restrukturisasi biasanya akan dicantumkan klausula pengaman yang bertujuan untuk mencegah Debitur kembali wansprestasi atas Perjanjian Restrukturisai. Klausula pengaman tersebut dinamakan "Recapture Clause". Klausula ini berisi pernyataan bahwa konsesi-konsesei yang telah diberikan oleh Kreditur kepada Debitur akan dicabut jika ternyata Debitur melakukan Wanprestasi lagi atas Perjanjian Restrukturisasi tersebut, dan terhadap Debitur akan diberlakukan kembali klausula-klausula seperti yang tertera pada perjanjian kredit awal sebelum restrukturisasi.

Dalam hal setelah dilakukan restrukturisasi hutang, debitur tetap tidak mampu membayar hutangnya, dan ketidak mampuan tersebut bukan karena I’tikad yang buruk, maka biasanya hutang tersebut akan dikonversikan menjadi asset tertentu seperti saham ataupun asset berupa barang lainnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut dikenal tiga pola penukaran asset yaitu :

1. Debt to Asset Swap (hutang ditukar dengan asset), pola ini berupa pembayaran hutang dengan cara debitur menyerahkan asset-aset yang dimilikinya, diluar asset jaminan kepada kreditur. Dimana nantinya saet-saet tersebut biasanya akan di lelang oleh Kreditur untuk mendapat pelunasan.

2. Debt to Equity Swap (hutang ditukar dengan saham milik perusahaan yang berhutang). Pola ini berupa konversi hutang menjadi saham Debitur, sehingga setelah konversi kreditur akan menjadi pemegang saham debitur.

3. Debt to Quasy Equity Swap (hutang ditukar dengan saham perusahaan lain yang dipunyai oleh Debitur). Pola ini berupa konversi hutang menjadi saham-saham di anak perusahaan atau perusahaan terafiliasi Debitur, sehingga setelah konversi kreditur akan menjadi pemegang saham di anak perusahaan atau perusahaan afiliasi debitur

Kamis, 11 Desember 2008

FORMATION OF A P.M.A. COMPANY
By. Muchammad Alfarisi Fadjari, SH., M.Hum


The formation of a P.M.A. company requires the approval of the Minister of Investment or of the President through Badan Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”), as the case may be, and the Department of Justice (DOJ) for its Articles of Association. The procedures for these approvals are as follows:

1. BKPM’S Approval Procedure:

1.a. The investors in the proposed company must prepare and file a foreign investment application, known as a Model I P.M.A. Application. The application is signed by all the investors. A copy of the current form Model I is attached.

For a joint venture company, the foreign investor may be either a legal entity or an individual, whereas the Indonesian investor can be one of the following:

1. Limited liability company (P.T.);
2. Cooperative;
3. State owned/regional owned company (BUMN/BUMD); and
4. Individual.

The Application should be submitted to the Chairman of BKPM, copy to the Chairman of BKPMD, with the following attachments:

1. the Indonesian Investor must provide:

- copy of the articles of incorporation if a corporation, or identity card, if an individual

- copy of the Tax Identification Number (NPWP).

2. the foreign investor must provide:

- copy of the articles of incorporation as well as its English/Indonesian translation, if a corporation.

- passport, if individual

3. a. description of the production process together
with the flow chart

b. the scope of activities (service companies)

4. draft of the Joint Venture Agreement which has been initialed/signed. For a direct Investment (100%) the Joint Venture Agreement is not required.

5. Power of attorney, if the application is signed by an attorney-in-fact.

6. Terms and conditions on certain sectors issued by the Government as contained, among others, in PT. PPM Book.

7. For sectors which require Partnership:

a. Agreement of Partnership with small scale Business;

b. When the Partnership is in form of Share Participation by the small-scale Business, such small-scale Business is already mentioned as shareholder in the Joint Venture Agreement;

c. Statement on duty stamped Letter from the small-scale Business stating that such small-scale Business fulfills the criteria of small-scale as mentioned in Article 1 item 23 in the Decree of the Minister of Investment/Chairman of BKPM No. 30/SK/1998 on the Guidelines and Procedures of Investment Applied established for the purpose of Domestic/Foreign Investment.

1.b. BKPM assesses the Application’s compliance with the Government’s policies and priorities. The Daftar Negatif Investasi (“DNI”) sets forth those areas of activity which are closed to foreign investment.

1.c. After BKPM completes its evaluation, for investment over US$ 100,000,000.00 (United Stated Dollars one hundred million), the Minister of Investment (MOI)/Chairman of BKPM will recommend to the President of the Republic of Indonesia through the State Secretary that the project be approved. The Presidential approval will be notified to the investors by the MOI/Chairman of BKPM through the Notification of Presidential Approval (“SPPP”). The SPPP will be issued not later than 20 (twenty) days as of receipt of complete required documents by BKPM.

1.d. For Investment up to US$ 100,000,000.00 (United States Dollars one hundred million), the Minister of Investment/Chairman of BKPM will issue Approval Letter for foreign Investment (SP-PMA). The SP-PMA will be issued not later than 10 (ten) days as of receipt of complete required documents by BKPM.

1.e. The SP-PMA/SPPP contain the terms and conditions of approval and represents the Government’s official position and approval of the foreign investment. Therefore, any particular facilities requested by the shareholders of the proposed company should be contained in the SP-PMA/SPPP. The SP-PMA/SPPP will constitute a Principal Approval, which enables the investors (after execution and submission of Articles of Association to the DOJ) to proceed immediately with the construction or pre-operation phase. As a general rule, the investors have 3 (three) years as of the date of the SP-PMA/SPPP in which to complete the project, except if specifically provided otherwise. Further, a number of separate licenses and permits as set forth in Section D hereunder must be acquired by the proposed company.

2. Department of Justice Approval Procedure:

2.a. After the proposed company receives its SPPP, the investors may execute the Articles of Association before an Indonesian Notary Public and file the company’s Articles of Association with the DOJ, which reviews and approves them on an individual basis. The Indonesia Company Law - Law No.40/2007-(“ICL”) requires that the founders of limited liability company (including a Joint Venture P.M.A. Company, as well as a Foreign P.M.A. Company), must consist of at least 2 (two) parties. The ICL contains no minimum shareholding percentage for either of the shareholders. Under the ICL, if at any time 100% of the outstanding shares are held by only one person, within 6 months of the commencement of that state of facts, shares must be sold to another party, failing which the sole shareholder will have unlimited liability for the liabilities of the company.

While there is no standard form Articles of Association as such and terms and provisions thereof may very somewhat, Articles of Association are highly stylized and any substantial changes from the customary provisions will require negotiation with the DOJ. It is unlikely that the DOJ will approve changes that depart radically from its usual format. The Articles of Association of a Joint Venture P.M.A. Company as well as a Foreign P.M.A. Company must be prepared in notarial deed form in the Indonesian language. Currently, DOJ approval typically requires three months and may take considerably longer. We note that the ICL requires the DOJ to turn around applications for approval within 60 days of submission. During the approval period, the proposed company’s SPPP permits it to engage in business as a company-in-formation. The rules as to liability of the founders are essentially the rules that apply to partnerships. Upon approval by the DOJ, the company will acquire limited liability status, meaning the shareholders henceforward no longer have personal liability for the acts of the company. From the date of Department of Justice approval to the date the Articles of Association are published in the State Gazette, the directors of the company are personally liable for the acts of the company. The shareholders can indemnify the directors against such liability.

2.b. Under the ICL, by establishment of the company (meaning execution of the notarial form Deed of Establishment), at least 25% of the authorized capital must be issued and paid up. The remainder of the issued capital shares must be paid up by DOJ approval of the Articles of Association. Thereafter, all shares issued must be fully paid issuance. The ICL establishes a minimum capitalization of Rp.50.000.000. This represents a significant change from the practice prior to the ICL. The previous requirement was that by no later than DOJ approval, at least 25% of the authorized capital of the proposed company had to be issued and be fully paid. BKPM requires that all authorized capital must be issued and fully paid by the commencement of commercial production or operation. This is a date certified by BKPM and it is important not only for capital issuance purposes but for divestment purposes as well.